Postingan

Bangunan Cagar Budaya Ndalem Pakuningratan

Gambar
Ndalem ini diperkirakan dibangun pada awal abad 18, dan konon pernah menjadi kediaman Pangeran Diponegoro saat menjadi wali Sri Sultan Hamengku Buwono V. Pada akhir abad 18 (akhir tahun 1800) atas perintah Sri Sultan Hamengku Buwono VII, ndalem ini dibangun kembali dan menjadi kediaman GPH Purbaya (kelak menjadi Sultan Hamengku Buwono VIII). Pada saat menjadi kediaman GPH Purbaya ndalem ini bernama Ndalem Purbayan dan di ndalem ini GRM Dorojatun (kelak menjadi Sultan Hamengku Buwono IX) dilahirkan. Pada tahun 1928 Ndalem Purbayan diserahkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII kepada putri tertuanya GKR Pembayun yang menikah dengan BPH Pakuningrat. Semenjak itu ndalem ini berubah nama menjadi Ndalem Pakuningratan. Ndalem Pakuningratan telah mengalami beberapa kali pemugaran. Pemugaran pertama pada tahun 1928 yaitu menyatukan pendapa dengan peringgitan(menjadi pendapa saat ini) dan mengganti ubin pendapa dari plester semen di ganti tegel. Pemugaran yang kedua pada tahun 1936, dengan men

Unggah Ungguh Bahasa Jawa

Gambar
Pada jaman dahulu masyarakat Jawa sudah mengenal norma dan tataran bahasa Jawa (unggah ungguh bahasa Jawa) yang digunakan untuk saling menghormati dalam berkomunikasi. Unggah ungguh bahasa Jawa merupakan sopan santun, tata susila, tata krama, dan etika dalam bahasa Jawa. Unggah ungguh bahasa Jawa dikelompokkan menjadi dua, yaitu: Bahasa Jawa Ngoko Digunakan untuk berbicara dengan orang seumuran atau setara. Digunakan juga oleh seseorang yang memiliki kasta lebih tinggi pada yang lebih rendah atau di bawahnya. Bahasa Jawa Krama terbagi menjadi dua yaitu: Bahasa Jawa Krama Alus Krama Alus juga disebut dengan Krama Inggil. Digunakan oleh murid kepada gurunya, anak muda dengan orang yang lebih tua, dan pelayan dengan bangsawan. Bahasa Jawa Krama Lugu Krama Lugu juga disebut dengan Krama Madya. Digunakan dalam dialog antara sesama bangsawan yang sudah lebih akrab.

Tentang Blangkon Gaya Yogyakarta

Gambar
Bentuk blangkon dengan gaya Yogyakarta hanya terdapat dua buah, yaitu : blangkon dengan bentuk Mataraman dan blangkon dengan bentuk Kagok. Kedua blangkon tersebut terbentuk dari bagian-bagian yang hampir sama, yaitu wiron/wiru, mondolan, cetetan, kemadha, dan tanjungan. Seperti juga surjan maka blangkon juga mempunyai filosofi dan makna simbolis di dalamnya. Blangkon gaya Yogyakarta mempunyai makna simbolis antara lain: Wiron/wiru, berjumlah 17 lipatan yang melambangkan jumlah rakaat sholat dalam satu hari. Mondolan mempunyai makna kebulatan tekad seorang pria dalam melaksanakan tugasnya walaupun tugas yang diberikan sangat berat. Cetetan, mempunyai makna permohonan pertolongan kepada Allah SWT. Kemadha, bermakna menyamakan atau menganggap sama seperti putra sendiri. Tanjungan mempunyai makna kebagusan, artinya supaya terlihat lebih tampan sehingga disanjung-sanjung dan dipuja. Sedangkan makna simbolis motif yang diterapkan pada pembuatan blangkon antara lain: Motif Modang, mengandung

Filosofi Pakaian Takwa Surjan

Gambar
Surjan yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga berasal dari istilah 'sira' dan 'jan' yang berarti pelita atau yang memberi terang. Filosofi pakaian surjan sangat dalam diantaranya dimulai dari bagian leher baju surjan memiliki kancing 3 pasang (6 biji kancing) yang kesemuanya itu menggambarkan Rukun Iman. Rukun Iman tersebut adalah iman kepada Allah, iman kepada Malaikat, iman kepada Kitab-kitab, iman kepada Utusan Allah, iman kepada Hari Kiamat, iman kepada Takdir. Selain itu surjan juga memiliki dua buah kancing di bagian dada sebelah kiri dan kanan. Hal itu adalah simbol dua kalimat syahadat yang berbunyi, Ashaduallaillahaillalah dan Wa Ashaduanna Muhammada Rasulullah. Ada pula tiga buah kancing di dalam (bagian dada dekat perut) yang letaknya tertutup (tidak kelihatan) dari luar. Hal ini menggambarkan tiga macam nafsu manusia yang harus diredam/dikendalikan/ditutup. Nafsu-nafsu tersebut adalah nafsu 'aluamah', 'amarah', dan 'supiyah'. Terda

Perubahan Bentuk Plengkung Di Era Sultan Hamengku Buwono VIII

Gambar
Pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII (1921 - 1939) dilakukan perubahan-perubahan bentuk gerbang Benteng Baluwerti (Plengkung) menjadi bentuk gapura. Plengkung Madyasura (Plengkung Buntet) yang ditutup permanen dengan bata pada tahun 1812 saat Geger Sepoy dibuka kembali oleh Sultan Hamengku Buwono VIII sebagai pintu masuk bagian benteng sebelah timur. Begitu juga dengan Plengkung Jagasura (Plengkung Ngasem) dan Plengkung Jagabaya (Plengkung Tamansari) yang kemudian dirubah bentuknya menjadi gapura untuk memperlancar lalu lintas jalan. Sejak saat itu plengkung yang tersisa utuh bangunannya hanya tinggal dua yaitu Plengkung Tarunasura (Plengkung Wijilan) dan Plengkung Nirbaya (Plengkung Gading).

Gempa Bumi Dahsyat Tahun 1867

Gambar
Peristiwa besar lain yang merusakkan beberapa bagian dari Benteng Baluwerti adalah gempa bumi dahsyat pada tanggal 10 Juni 1867. Goncangan gempa yang diperkirakan berkekuatan Magnitudo 8 Skala Ritcher dan berlangsung selama 70 detik itu menelan ribuan korban jiwa dan merusakkan banyak rumah dan bangunan di Yogyakarta. Gempa besar ini merusakkan beberapa bangunan vital seperti Keraton Tamansari, Benteng Vredeburg, Gedung Agung hingga Tugu Golong Gilig setinggi 25 meter roboh. Sultan Hamengku Buwono VI kemudian memberikan ijin bagi Abdi Dalem yang terkena dampak gempa untuk bertempat tinggal di sisi kosong dari Benteng Baluwerti. Hal itu berlanjut sampai dengan sekarang masih menempati sisi kosong dan parit (jagang) benteng.

Cikal Bakal Benteng Baluwerti

Gambar
Hari Kemis Pon , 29 Jumadilawal 1680 Tahun Jawa atau 13 Maret 1755 Masehi merupakan tanggal bersejarah bagi Kasultanan Yogyakarta. Pada tanggal inilah Hadeging Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat dikumandangkan sebagai proklamasi berdirinya Kasultanan Yogyakarta. Selanjutnya Sultan Hamengku Buwono I memulai pembangunan Keraton Yogyakarta pada tanggal 09 Oktober 1755. Proses pembangunan berjalan hampir satu tahun lamanya. Sultan Hamengku Buwono I beserta keluarga dan para pengikutnya dari Pesanggrahan Ambar Ketawang memasuki Keraton Yogyakarta pada tanggal 07 Oktober 1756 (Kemis Pahing, 13 Sura 1682 Tahun Jawa). Keraton Yogyakarta pada saat itu telah dikelilingi oleh benteng dari kayu dan bata yang merupakan cikal bakal dari Benteng Baluwerti. Sumber : www.kratonjogja.id

Geger Sepoy

Gambar
Geger Sepoy  atau  Geger Sepehi  merupakan penyerbuan pasukan Inggris terhadap Kraton Yogyakarta pada tanggal 19-20 Juni 1812. Peristiwa Geger Sepoy berawal ketika pada tahun 1811 Inggris mulai menancapkan kekuasaannya di Jawa dan berkeinginan menguasai Pulau Jawa yang kala itu dipimpin oleh Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffless. Langkah awal yang dilakukan Raffles adalah menguasai sepenuhnya Pulau Jawa dan mempertahankannya dari serangan negara lain, khususnya Perancis dan Belanda. Raffles kemudian mengirim residen-residen ke wilayah-wilayah di Jawa, termasuk kerajaan-kerajaan yang ada di pulau tersebut.  Kedatangan  Inggris untuk menguasai Jawa sepenuhnya mendapat hambatan dari Sultan Hamengkubuwono II yang bersekutu dengan Sunan Pakubuwono IV. Raffles kemudian mengutus John Crawfurd dan Pangeran Notokusumo untuk berdiplomasi dengan Sultan Hamengkubuwono II. Jalan diplomasi menemui titik buntu dan berakhir dengan upaya penaklukan Kasultanan Yogyakarta. Raffles mempersiapkan pasuka

Dinding Benteng Baluwerti

Gambar
Benteng Baluwerti  ( Jawa :  Bètèng Baluwarti ) merupakan sebuah dinding yang mengelilingi kawasan  Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat . Dinding ini didirikan atas prakarsa Sultan Hamengku Buwono II ketika masih menjadi putra mahkota pada tahun 1785-1787. Bangunan ini kemudian diperkuat lagi sekitar 1809 ketika dia telah menjabat sebagai Sultan. Benteng ini dinamai dengan  baluwerti , yang kelak diserap dalam kata bahasa Indonesia sebagai  baluarti  "benteng", yang makna awalnya adalah "jatuhnya peluru laksana hujan". Benteng Baluwerti berfungsi untuk melindungi Keraton dari ancaman luar. Benteng Baluwerti dibangun atas prakarsa  Pangeran Adipati Anom , putra mahkota Sultan Hamengku Buwono I, sebagai reaksi atas berdirinya benteng Kumpeni di sebelah utara Keraton. Benteng Kumpeni yang dibangun antara tahun 1765 hingga 1787 itu, dikenal dengan nama Benteng Rustenburg, kini  Benteng Vredeburg . Pembangunan Benteng Baluwerti ditandai dengan ornamen simbolik berupa surya